Kamis, 26 Mei 2011

Perkembangan Islam Masa Umayyah & Abasiah

Perkembangan Islam Masa Umayyah
Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, dan tipu muslihat yang licik, bukan atas dasar demokrasi yang berdasarkan atas hasil pilihan umat Islam. Dengan demikian, berdirinya dinasti ini bukan berdasarkan hukum musyawarah.
Masa dinasti Umayyah merupakan tonggak penting dunia islam. Hal ini dikarenakan Muawiyah telah melakukan suatu kebijaksanaan yang mengejutkan semua pihak, dimana ia telah berani menunjuk putranya yazid sebagai putra mahkota. Peristiwa ini tentu saja sangat bertolak belakang pada kondisi yang ada sebelum baik pada masa rosulullah maupun khulafaur rosyidin.
Dinasti Umayyah berkuasa hampir 1 abad, selama 90 tahun mempunyai 14 khilafah yaitu :
1.      Muawiyah bin abi sufyan
2.      Yazid bin muawiyah
3.      Muawiyah II bin yazid
4.      Marwan bin al-hakam
5.      Abdul malik bin marwan
6.      Walid bin abdul malik
7.      Sulaiman bin abdul malik
8.      Umar bin abdul aziz
9.      Yazid II bin abdul malik
10.  Hisyam bin abdul malik
11.  Walid II bin yazid
12.  Yazid III bin walid
13.  Ibrahim bin walid
14.  Marwan II al-ja’diy
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.           
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik dari pada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Perkembangan Islam Masa Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H / 750 M, Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Dinamakan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah di samping bercorak Arab murni, juga terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban.
Kemajuan-Kemajuan dan Perkembangan yang Dicapai
KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA
kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqih. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh. 
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj yang menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Malik ibn Anas yang menulis Al-Muwatta nya di Madinah, Al-Awzai di wilayah Syam, Ibn Abi Urubah dan Hammad ibn Salamah di Basrah, Ma’mar di Yaman, Sufyan al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishaq  yang menulis buku sejarah (Al-Maghazi), Al-Layts ibn Sa’ad serta Abū Hanīfah.
Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir lengkap dari al-Fatihah sampai al-Nas juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadim yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyad al-Daylamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farra. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadim bahwa Abd al-Razzaq ibn Hammam al-Sanani yang hidup sezaman dengan Al-Fara juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al-Shafii dan Ahmad ibn Hanbal.
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh,  ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Malik ibn Anas, juga al-Rabi ibn Sabih dan Ibn Al-Mubarak.
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, Ubaydullah ibn Musa al-Absy al-Kufi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Musa al-Amawi dan Nuaym ibn Hammad al-Khuzai.
Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahih dari yang dlaif sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, serta Al-Nasai.
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishaq dan kemudian  diringkas oleh Ibn Hisyam. Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn Umar al-Waqidi yang menulis buku berjudul Al-Tarikh al-Kabir dan Al-Maghazi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari. Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Sa’ad  dengan Al-Tabaqat al-Kubra-nya  serta Ahmad Ibn Yahya al-Baladhuri yang menulis Futuh al-Buldan.
KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan ulum naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (ulum aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat  yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka dibanding buku-buku olah pikir.
Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan  sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-Khawarizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya.
Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansur yang juga sering disebut sebagai seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansur ketika Muhamad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab.
Pada era Harun al-Rashid dan Al-Mamun sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawarizmi, Ibn Jabir Al-Battani, Abu Rayhan al-Biruni serta Nasir al-Din al-Tusi.
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jabir ibn Hayyan (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Razi yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Razi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter.

Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.
KESIMPULAN
1.      Pada Masa dinasti Bani Umayyah, Peadaban Islam Mengalami perkembangan/kemajuan, yaitu :
Berhasil dalam memperluas daerah kekuasaan Islam ke berbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis. Islam mempengaruh kehidupan masyarakat luas.
2.      Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, peradaban Islam yang berkembang adalah :
Ilmu pengetahuan, sains dan teknologi , antara lain : filsafat, kedokteran, matematika, farmasi dan kimia, perbintangan, tafsir, hadits, kalam, dan ilmu bahasa.dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar