Kamis, 26 Mei 2011

Perbedaan Spesifik Antara Mazhab Zahiriyah dan Ibadiah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab) bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.

Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah, al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Sementara puluhan mazhab lainnyamungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah mazhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak di antaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya mazhab tersebut di zamannya.

Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdaddengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.

saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud al-Zhahiri ini.

Dan Ibadhiyah yaitu salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.

1.2 Masalah
          Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
  1. Apa itu mazhab zahiriyah?
  2. Apa itu mazhab ibadiyah?
  3. Apa perbedaan spesifik antara mazhab zahiriyah dan mazhab ibadiyah?

1.3 Tujuan
          Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:
  1. Mengetahui tentang mazhab zahiriyah.
  2. Mengetahui tentang mazhab ibadiyah.
  3. Mengetahui tentang perbedaan antara mazhab zahiriyah dan mazhab ibadiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  MAZHAB ZAHIRIYAH

2.1.1   Sejarah Berdirinya Mazhab Zahiriyah

Mazhab ini didirikan dengan prinsip bahwa sumberhukum fiqih adalah zhahirnya nash, baik dari alqur’an dan sunnah, tidak ada ruang bagi logika dalam menentukan sebuah hokum syar’i. Oleh karena itu, para pengikut mazhab ini menolak semua jenis logika, tidak menggunakan qiyas, istihsan, dzara’i, kemaslahatan, maupun logika apapun bentuknya.

Mazhab ini menolak qiyas karena ia akan membuka lebar pintu ijtihad dan semua orang dapat melakukan itu dalam menggali hokum.

2.1.2        Daud al-Zhahiri

a.   Sejarah Hidup dan Karya Ilmiah Daud al-zahiriyah
Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia. Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.[1]
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain:
1.   Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2.   Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3.   Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal khusus dan umum).
4.   Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya).
5.   Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).
6.   Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaklid).
7.   Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[2]
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.[3] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
b. Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri.
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis.[4]
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.[5]
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.[6]
1)   Tentang Ijma’.
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, tetapi mencakup tabi’in.


2)   Tentang Qiyas.
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak peng­gunaan qiyas dan ra’yu. Ia berpendapat bahwa hu­kum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hu­kum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbela­kangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang te­guh pada al-Qur’an dan sunah serta menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek per­adilan menuntut adanya perangkat-pembantu lain­nya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya.
3)   Tentang Taqlid.
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus ber­tanya kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :[8]
a)   Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut k­empat jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
b)   Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disuci­kan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpeli­hara [Lauh Mahfuz]). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisan­tulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disen­tuh oleh orang yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.
2.1.3   Dasar-dasar Mazhab Zahiriyah

dasar yang menjadi landasan dalam mazhab zahiriyah ada 4 yaitu sebagai berikut:
a)      Al-qur’an, merupakan dasar syariat pertama yang kekal sampai hari kiamat dan alqur’an bisa menjelaskan sendiri hokum yang ada didalamnya sperti nikah, talak dan warisan atau harus dijelaskan oleh sunnah seperti menguraikan hal-hal yang masih global dalam al-qur’an.

b)      Sunnah, kalangan mazhab zahiriyah membagi sunnah menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Keduanya menurut zahiriyah wajib diamalkan dan diyakini. Perbedaan antara hadits ahad dengan yang mutawatir hanya terletak pada kekuatan dalil. Hadits mutawatir didahulukan dari pada hadits ahad.

c)      Ijma, tepatnya ijma’ pada zaman sahabat saja, sebab itulah yang mungkin terjadi.

d)     Istishab, maksudnya adalah menetapkan hokum yang ada nashnya sampai ada dalil dari nash yang mengubahnya.


2.2   MAZHAB IBADHIYAH

Ibadhiyah adalah nama golongan yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim). Saat itu, Abu Musa Asy`ari sebagai duta Ali dan `Amr bin `Ash sebagaiduta Muawiyah, duduk bersama menelaah Al-Quran dan sunah Rasul saw untuk memutuskan kebenaran di pihak Ali atau Muawiyah. Ketika duta Syam menipu duta Irak dan orang-orang Irak sadar mereka telah dikecoh `Amr bin `Ash, mereka memprotes Sayidina Ali lantaran sikap beliau menerima hakamiyah. Mereka lalu membentuk kelompok tersendiri dan melawan Sayidina Ali. Mulanya, jumlah mereka hanya sedikit. Namun, jumlah mereka kian bertambah dari hari ke hari. Akhirnya, mereka berkumpul di suatu tempat bernama Harura. Mereka berperang melawan Sayidina Ali dan menelan kekalahan.

Ibadhiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.

Hingga sekarang, komunitas Ibadhiyah relatif hidup terpencil dan tidak begitu dikenal. Karena itu, mereka bisa disebut sebagai kelompok yang kurang atau relatif tidak dikenal. Yang bisa disimpulkan dari sejarah adalah bahwa Ibadhiyah muncul pada peristiwa pembangkangan Khawarij terhadap Sayidina Ali di perang Shiffin. Mereka lalu membentuk kelompok independen lantaran pengaruh pandangan-pandangan Abu Bilal Mardas bin Adyah. Mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok ekstrem Khawarij seperti Azariqah. Abu Bilal adalah poros tengah antara kelompok induk Khawarij dan kelompok-kelompok moderat. Pasca syahidnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Khawarij melakukan beberapa pemberontakan terhadap penguasa, salah satunya di bawah kepemimpinan Abu Bilal Mardas di masa Yazid bin Muawiyah. Di tahun 58 H, setelah dibebaskan dari penjara Ubaidillah bin Ziyad, Abu Bilal beserta tiga puluh pengikutnya keluar dari Bashrah dan menuju Ahvaz, atau lebih tepatnya, Asak. Pengikutnya di sana bertambah menjadi 40 orang. Ubaidillah lalu mengutus Aslam bin Zur`ah bersama dua ribu prajurit untuk menghentikan Abu Bilal dan pengikutnya. Sebelum pertempuran dimulai, Abu Bilal berkata kepada musuhnya, ”Kenapa kalian memerangi kami? Kami tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pernah menghunus pedang di hadapan orang lain.” Alhasil, perang tetap terjadi dan 40 orang Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Khalifah dan memaksa mereka melarikan diri. Di tahun berikutnya, Ubaidillah mengutus pasukan lain berjumlah 4000 orang untuk menumpas mereka. Pertempuran terjadi di hari Jumat di Darabjard Fars. Mulanya, pasukan Khalifah tidak memperoleh kemajuan. Saat waktu shalat (Jumat) tiba, Abu Bilal mengirim pesan untuk menunda pertempuran demi melaksanakan shalat. Namun, ketika pasukan Khawarij sedang melakukan shalat, pihak musuh menyerbu dan membunuh mereka semua, termasuk Mardas.

Di abad-abad terdahulu, pengikut Ibadhiyah hidup dalam wilayah yang amat luas. Beberapa kelompok dari mereka masih bertahan hingga sekarang. Mereka menetap di Oman, Tanzania (Zanjibar), dan Afrika Utara. Di masa kita sekarang, Abadhiyah adalah mazhab yang dianut mayoritas rakyat dan suku Oman. Kecenderungan masyarakat Oman kepada mazhab Ibadhiyah bermula semenjak awal terbentuknya mazhab ini. Pada permulaan gerakan dan perang Khawarij melawan dinasti Bani Umayah, sebagian pemuka kelompok Ibadhiyah dating ke Oman. Mereka menyebarkan ajaran Ibadhiyah dan memperoleh banyak pengikut. Ketika Jabir bin Zaid diasingkan oleh Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi dari Bashrah ke Oman, penduduk Oman menyambut dakwah Ibadhiyah. Sebab, Jabir berasal dari suku Azd yang merupakan suku mayoritas di Oman. Selain itu, pandangan moderat pemimpin Abadhiyah, yaitu Jabir bin Zaid, juga turut mempengaruhi sambutan rakyat Oman.

Terputusnya silsilah dinasti Bani Umayah di tahun 132 H/750 M dan kekacauan di pemerintah pusat, memberi peluang kepada pengikut Abadhiyah di Oman untuk mewujudkan mimpi membentuk pemerintahan. Mereka lalu mengangkat Jalandi bin Mas`ud bin Jaifar bin Jalandi Azdi sebagai imam bagi pengikut Ibadhiyah di Oman.

2.2.1   Biografi Pendiri Mazhab

Mazhab ibadiyah dinisbahkan kepada Abdullah bin ibadh at-tamimi yang wafat tahun 86 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau pernah belajar pada zabir bin zaid, seorang tokoh tabi’in. bahkan dalam mazhab ibadiyah, jzbirlah yang dianggap sebagai pendiri mazhab yang pertama.

2.2.2   Kelompok-kelompok Ibadhiyah

Abadhiyah juga tak lepas dari penyempalan dan perpecahan. Ada beberapa kelompok dengan beragam kecenderungan yang menyempal dari mereka. Penyempalan ini disebabkan perbedaan kultur, politik, dan sosial di antara mereka. Berikut ini beberapa kelompok cabang dari Abadhiyah:

a. Wahbiyah: Kelompok ini salah satu dari kelompok-kelompok utama Abadhiyah. Sebagian besar pengikut Abadhiyah berafiliasi kepada kelompok ini.

b.   Ibrahimiyah: Kelompok ini dinisbatkan kepada seorang penduduk Madinah bernama Ibrahim. Kemunculan kelompok ini bermula dari fatwa Ibrahim terkait dibolehkannya menjual hamba sahaya wanita Muslim kepada orang kafir (selain Abadhiyah). Ia juga melakukan hal serupa terhadap budak wanitanya. Salah satu pengikutnya yang bernama Maimun memprotes dan berpendapat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ibrahim lalu berargumen dengan ayat 275 surah Al-Baqarah bahwa Allah menghalalkan segala bentuk jual-beli. Namun, argumen ini tidak memuaskan Maimun dan ia pun memisahkan diri dari Ibrahim.

c.  Maimuniyah: Kelompok ini muncul setelah Maimun memisahkan diri dari kelompok Ibrahim.

d.  Hafshiyah: Mereka adalah pengikut Hafsh bin Abi Miqdam. Fakhrurrazi mengatakan bahwa kunyah (julukan)nya adalah Abu Ja`far. Hafshiyah berpendapat bahwa fondasi iman hanya berupa pengenalan terhadap Allah semata.

e.   Haritsiyah: Mereka adalah pengikut Harits Abadhi yang menganut pandangan Mu`tazilah dalam masalah takdir.

f.       Yazidiyah: Para pengikut Yazid bin Anis yang berpendapat bahwa Islam akan dihapus di akhir zaman dan ada nabi yang akan datang dari kaum Ajam (non-Arab).


2.2.3        Dasar Mazhab Ibadiyah

Mazhab ibadiyah berdiri tegak diatas landasan fiqih yang sama dengan mazhab islam lainnya. Oleh karena itu, dasr mazhab ibadiyah adalah sebagai berikut.

a.       Kitabullah.
b.      Sunnah, mereka mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.
c.       Ijma’
d.      Qiyas

2.2.4        Kitab-kitab Fiqh Mazhab Ibadiyah

Fiqh mazhab ibadiyah berkembang seperti halnya fiqh mazhab yang lainnya, mempunyai pakar fiqh serta hasil karya yang menyebabkan mazhab ini dikenal dan tersebar luas. Diantara hasil karya yang paling terkenal adalah kitab An-nail wa syifa’ Al-alil karya syaikh Dhiya’uddin abdul aziz at-tamimi (wafat 122 H). kitab ini dianggap sebagi sumber utama untuk fatwa dan fiqh ibadiyah.

Selain itu, sang penulis memiliki kitab lain, diantaranya Manhaj At-tajj fi At-tauhid wa Al-Fiqh dan Ma’alim Ad-Din fi Al-Falsafah wa Ushuliddin.

Kitab fiqh mazhab ibadiyah lainnya adalah kitab Thal’atu Asy-syams fi Ushuli Al-fiqh, sebuah kitab penjelasan atas an-nail yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Yusuf Athfis dan terdiri dari 10 jilid.


2.3      PERBEDAAN SPESIFIK ANTARA MAZHAB ZAHIRI DAN MAZHAB IBADIYAH

2.3.1        Mazhab zahiriyah

a.       Mazhab ini dengan prinsip bahwa sumberhukum fiqih adalah zhahirnya nash, baik dari alqur’an dan sunnah
b.      Mazhab ini menolak qiyas karena ia akan membuka lebar pintu ijtihad dan semua orang dapat melakukan itu dalam menggali hukum.
c.       Mazhab ini dilahirkan di kota Baghdad.
d.      Tidak adanya perpecahan yang menganut terhadap mazhab zahiriyah.
e.       Sunnah, kalangan mazhab zahiriyah membagi sunnah menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, kalangan mazhab zahiriyah menolak hadits mursal.


2.3.2        Mazhab Ibadiyah

a.       mazhab ini adalah yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim) dan ibadiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi.
b.      Mazhab ini menggunakan qiyas dalam dasar-dasar mazhabnya.
c.       Mazhab ini dilahirkan di kota Oman.
d.      Mazhab ibadiyah terjadi perpecahan dalam penganutnya.
e.       Sunnah, mereka mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.




















BAB III
PENUTUP
Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi dari makalah ini, yakni :
1.   Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya adalah madzhab al-Zhahiri.
2.   Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.
3.   Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.
4.   Ibadhiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi
5.   Ibadiyah menggunakan qiyas dalam dasar-dasar mazhabnya
6.   Ibadiyah dalam sunnahnya mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.













DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van   Hoeve, 2006
Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press,         2006
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran          Tekstual dan Aliran Liberal, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri; sejarah legislasi hokum islam, Jakarta :sinar grafika offset, oktober 2009

I-note
[1] Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
[2] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), Volume 6, h. 1981
[3] Ibid.
[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56
[5] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 46
[6] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1975-1976
[7] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 2006), hlm. 969
[8] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1977


2 komentar:

  1. boleh tak ceritakan tentang af'al ibad(افعال العباد) menurut mazhab ibadhiah?

    BalasHapus