Kamis, 26 Mei 2011

AHMADIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Aliran ini sekarang kembali banyak diberitakan terkait keluarnya surat rekomendasi dari badan PAKEM nasional, yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan aliran ini. Karena dinilai sudah melanggar 12 kesepakatan bersama, yang salah satunya adalah melarang aliran Ahmadiyah melakukan aktivitasnya di depan umum. Meskipun aliran ini memang terbukti sesat, namun sulit membubarkannya, karena di backup oleh Negara-negara kuat, salah satunya adalah Inggris. Dan bagi orang awam akan cukup sulit membedakan ajaran mereka dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Karena di awal merekrut anggota mereka akan mengatakan Nabi Muhammad juga nabi mereka, dan syahadatnya juga sama. Hanya saja mereka mengatakan/menafsirkan Khatamannabiyyin sebagai nabi termulia, bukan penutup para Nabi dan Rasul.
Sejarah Ahmadiyah tidak lepas dari pendirinya yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Seorang pengikut ahmadiyah yang kemudian menjadi khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad. Berikut petikannya:
“Pendiri Jemaat Ahmadiyah bernama Hazrat MIrza Ghulam Ahmad. Nama beliau yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Mirza melambangkan keturunan Moghul (Kerajaan Islam yang pernah ada di India). Kebisaannya adalah suka menggunakan nama Ahmad bagi nama beliau secara ringkas. Maka, waktu menerima bai’at dari orang-orang, beliau hanya memakai nama ahmad. Dalam ilham-ilham, Allah Ta’ala sering memanggil beliau dengan nama Ahmad juga. Hazrat Ahmad lahir pada tanggal 13 februari 1835 M, atau 14 Syawal 1230H, hari jum’at pada waktu sholat subuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, saat ia lahir, beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama kemudian meninggal. Demikianlah sempurna sudah kabar gaib yang tertera di dalam kitab-kitab agama Islam bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar. Qadian terletak 57km sebelah timur kota Lahore, dan 24km kota Amritsar di propinsi Punjab India”.
Lebih jauh perkembangan pergerakan ini ditulis: “Pergerakan jamaah Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah anggotanya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang, dan angkanya terus bertambah dari hari ke hari. Jemaah ini adalah golongan islam yang paling dinamis dalam sejarah era modern. Jamaah ahmadiyah didirikan tahun 1889 oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ( 1835-1908 ) di qadian, suatu desa didaerah Punjab, India. Beliau mendakwahkan diri sebagai pembaharu (mujadid) yang diharapkan dating di akhir zaman dan beliau adalah seseorang yang ditunggu kedatangannya oleh semua masyarakat beragama (Mahdi dan Al-Masih). Beliau memulai pergerakan ini sebagai perwujudan dari ajaran dan pesan Islam yang sarat dengan kebajikan, perdamaian, persaudaraan, universal dan tunduk patuh pada kehendakNya dalam kemurnian yang sejati. Hazrat Ahmad menyatakan bahwa Islam sebagai agama bagi umat manusia:”Agama orang-orang yang berada di jalan yang lurus”.
1.2        Rumusan Masalah
a)      Apa Ahmadiyah itu?
b)      Bagaimana Sejarah Ahmadiyah?
c)      Bagaimana Gerakan Ahmadiyah di Indonesia?
d)     Apa saja aqidah-aqidah ahmadiyah?
e)      Bagaimana Strategi sosialis Ahmadiyah kepada remaja?
1.3        Tujuan
a)        Mengatahui tentang Ahmadiyah
b)        Mengetahui Sejarah Ahmadiyah
c)        Mengetahui Gerakan Ahmadiyah di Indonesia
d)       Mengetahui aqidah yang di ajarkan ahmadiyah
e)        Mengetahui strategi sosialis ahmadiyah kepada remaja

BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Sejarah Berdirinya Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. pada tahun 1889, atas perintah Allah Ta'ala. Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah ISLAM. Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah". Jemaat Ahmadiyah bersaksi bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah.

Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi kitab suci Al-Quran sebagai Kitab Syariat terakhir yang paling sempurna, hingga kiamat.

Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Sayyidina Muhammad Mustafa Rasulullah shallallahu alaihi wa'aalihi wassallam sebagai Khataman-nabiyyiyn yang merupakan penghulu dari sekalian nabi dan nabi yang paling mulia. Beliau adalah nabi pembawa syariat terakhir. Penutup pintu kenabian tasyri'i. Tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru sesudah Rasulullah saw.

Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad (yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan. Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.. (Da'watul Amir, M.Bashiruddin Mahmud Ahmad, edisi terj.Bhs.Indonesia, 1989,h.2).

Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna wayuqiymus-syariah. Menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat Qur'aniah.

Dalam arti yang lebih mendalam adalah untuk menghimbau ummat manusia kepada Allah Ta'ala dengan memperkenalkan mereka sosok sejati Rasulullah saw., dan menciptakan perdamaian serta persatuan antar berbagai kalangan manusia. Ahmadiyah berusaha menghapuskan segala kendala yang timbul karena perbedaan ras dan warna kulit sehingga umat manusia dapat bersatu dan mengupayakan perdamaian semesta.

Ahmadiyah berjuang hanya untuk membela dan menyiarkan Islam diakhir zaman ini melalui lima cabang kegiatan dakwah Islam yang telah digariskan oleh Mujaddid dalam kitab Fathi Islam (1893), yaitu: (1) Menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan menerbitkannya. (2) Menyiarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat yang dilanjutkan dengan pembahasan dan diskusi, (3) Komunikasi langsung dengan kunjung-mengunjung, mengadakan ceramah-ceramah dan majelis taklim, (4) Korespondensi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran Islam, dan (5) Beat.
Setelah wafatnya pendiri jamaah Ahmadiyah, gerakan ini dipimpin oleh para khalifah:
Ø      Khalifah Masih I : Hazrat Maulvi Nuruddin (1908-1914)
Ø      Khalifah Masih II : Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965)
Ø      Khalifah Masih III : Hazrat Hafiz Nasir Ahmad (1965-1983)
Ø      Khalifah Masih IV : Mirza Tahir Ahmad (1983-2003)
Ø      Khalifah Masih V : Hazrat Mirza Masroor Ahmad (2003-sekarang).

2.2   Dua Golongan Ahmadiyah
Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa : (1) Masih Mau’ud itu betul-betul Nabi, (2) beliau itu ialah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6, dan (3) semua orang Islam yang tidak berbeat kepadanya, sekalipun tidak mendengar nama beliau, hukumnya tetap kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, hal. 35). Jadi menurut Basyruddin Mahmud Ahmad, Nabi Suci Muhammad saw. bukanlah Nabi terakhir, padahal H.M. Ghulam Ahmad mengajarkan bahwa Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi terakhir, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru (Ayyamus-Shulh, hlm.74).
Pendapat Basyuruddin Mahmud Ahmad yang bertentangan dengan ajaran Imam Zaman tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat yang menyimpang dari ajaran Pendiri Ahmadiyah tersebut tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah, yang dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India, tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah, Pakistan yang kemudian pasca 1984 Khalifahnya berada di Inggris. Pemimpin jemaat Ahmadiyah disebut Khalifah. Lengkapnya Khalifatul-Masih.
Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut alias yang mempertahankan akidah Pendiri Ahmadiyah, tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pemimpinnya disebut Amir (Presiden). Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad, dalam Alquran 61:6 adalah Nabi Suci Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak beat kepada beliau tidaklah kafir.


2.3   Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua mubaligh, Mirza Wali Ahmad Baig dalam Maulana Ahmad. Berkat rahmat Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.
GAI adalah Gerakan yang mandiri tak ada hubungan organisatoris dengan organisasi manapun di dunia ini, termasuk dengan Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) Lahore. Hubungannya hanyalah secara spiritual saja.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila, maka GAI juga berasaskan Pancasila. Anggaran Dasar GAI telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. Dan pula telah termasuk dalam Daftar Organisasi Kemasyarakatan Lingkup Nasional yang terdaftar di Depdagri (lihat: SUARA KARYA Tanggal 9 Agustus 1994), Hal. VIII, pada : D. AGAMA, 10).
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan seratusan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia serta lembaga pendidikan formal bernama Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
2.4   Akidah Ahmadiyah Indonesia (GAI)
Sebagai Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Ahmadiyah (Lahore) tidak menyimpang dari Quran Suci dan Sunnah Nabi, baik dibidang akidah maupun syariah. Secara rinci Akidah Ahmadiyah telah dirumuskan oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., dalam bukunya Albayanu fir-ruju’ilal-qur’an (1930:33-35) sebagai berikut:
1.      Kita percaya dengan yakin akan Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Suci Muhammad saw.
2.      Kita percaya dengan yakin bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara sekalian Nabi. Dengan datangnya beliau, agama telah disempurnakan oleh Allah. Oleh sebab itu sepeninggal beliau tak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani dan menegakkan Islam.
3.      Kita percaya dengan yakin bahwa Quran Suci adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Tak ada satu pun ayat yang harus dihapus (mansukh) dan ayat-ayatnya tetap murni untuk selama-lamanya. Sampai hari Qiyamat Quran menjadi pedoman petunjuk bagi kaum Muslimin.
4.      Kita mengakui bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 Hijriyah. Beliau bukan Nabi dan tak pernah mengaku Nabi.
5.      Kita percaya bahwa Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang dipilih oleh Allah di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, artinya orang yang diberi sabda Allah. Anugerah semacam itu acapkali disebut Zillun-Nubuwah, artinya bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata Zilullah, demikian pula kata Zillun-Nabi atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi yang sungguh-sungguh.
6.      Barang siapa mengucapkan kalimah syahdat, Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadarrasulullah, dan percaya akan arti dan maksudnya, maka ia adalah orang Islam, bukan orang kafir.
7.      Kita menghormati dan memuliakan para sahabat, para Wali dan para Ulama besar Islam. Kita tak membeda-bedakan penghormatan kita terhadap para sahabat, para Wali, para Muhaddats dan para Mujaddid.
8.      Bagi kita, menyebut kafir kepada orang Islam adalah perbuatan yang amat keji. Oleh sebab itu, tak akan bersalat makmum di belakang siapa saja yang menyebut kafir kepada orang Islam; hal ini untuk menunjukkan betapa tak suka kita terhadap perbuatan semacam itu; sikap demikian kita lakukan terhadap siapa saja, baik itu orang Ahmadi atau pun bukan. Sebaliknya, kita mau bersalat makmum di belakang siapa saja yang tak mengafirkan Islam.
9.      Kita mengakui akan benarnya Hadis Nuzulul-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi oleh Quran Suci sendiri dengan kata-kata yang terang telah berfirman bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat, maka kita percaya bahwa Masih yang akan turun pada akhir zaman bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya ada persamaannya dengan Nabi Isa a.s.
10.  Kita percaya bahwa tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, dan kita percaya pula bahwa tak ada Imam Mahdi yang datang menyiarkan Islam dengan pedang. Adapun Imam Mahdi yang sesungguhnya ialah seorang Mujaddid dan dianugerahi petunjuk dan sabda Allah untuk menegakkan, menjaga dan menghayati agama Islam yang sejati.
2.5        Strategi Sosialisasi Ide-ide Keagamaan Ahmadiyah di Kalangan Remaja
Remaja sebagai bagian dari generasi muda, bukan lagi anak-anak yang lucu dan polos. Mereka bukan lagi anak-anak yang keinginananya dapat dibujuk dengan sepotong kue atau es krim yang enak. Mereka telah tampil dengan kepribadian yang unik dan bertumbuh dengan pesat. Keinginan dan semangat mereka dapat meluap-luap bahkan nyaris meledak-ledak. Mereka mem-butuhkan sesuatu yang amat berbeda dengan masa kanak-kanak.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa pada masa remaja terjadi optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik, psikis, sosial, dan religiusitasnya. Kondisi ini merupakan potensi yang sangat menguntungkan bagi pember-dayaan komunitas remaja itu sendiri maupun juga dalam melibatkan peran mereka dalam perjuangan suatu gerakan.
Gerakan Ahmadiyah sebagai suatu gerakan pembaharuan dalam Islam, diakui atau tidak sangat membutuhkan peran remaja apabila ingin terus melanggengkan misi perjuangannya. Tanpa peran serta mereka maka kesinambungan dan kiprah gerakan tentu akan menjadi sangat terbatas. Apabila gerakan hanya mengandalkan generasi pendahulu yang notabene dari sisi usia sudah cukup lanjut, maka hal ini akan dapat membatasi kiprahnya bahkan tidak menutup kemungkinan gerakan ini akan menjadi asing di kalangan masyarakat.
Menyadari arti penting peran remaja dalam melanggengkan misi dan perjuangan gerakan Ahmadiyah, maka seharusnya men-jadi perhatian kita semua untuk terus memberdayakan potensi remaja sebagai wahana strategi perjuangan gerakan Ahmadiyah. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya adalah memahami karakteristik mereka dan selanjutnya mengkaji dan mengimplementasikan strategi ‘merangkul’ ataupun memfasili-tasi mereka baik sebagai pelaku dan sasaran dakwah gerakan Ahmadiyah.
Karakteristik Remaja dan Strategi Pembinaan

Remaja adalah istilah yang digunakan untuk menggambar-kan individu yang berada diantara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, usia 11 tahun dianggap sudah memasuki remaja karena pada umumnya mereka sudah baligh, dan usia 24 tahun dianggap sebagai batas maksimal. Batasan lain berkaitan dengan status perkawinan karena arti perkawinan masih dianggap sangat penting dalam menentukan apakah seseorang itu dapat diklasifikasi sebagai masih remaja atau dewasa. Pada usia berapapun, seseorang yang sudah menikah, dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa, baik secara hukum maupun dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Memahami karakteristik remaja akan membantu kita dalam upaya mendampingi mereka mengembangkan potensinya untuk menjawab tantangan jamannya karena kelak mereka akan hidup dan berjuang pada jaman yang berbeda dengan yang kita alami sekarang. Satu hal yang perlu kita ingat, bahwa dalam mendam-pingi remaja, kita bukanlah orang yang selalu sempurna dan kita tidak dapat memaksakan kehendak kita kepada mereka. Kita hanya berhak memberi saran dan alternatif sebijak mungkin. Selebih nya, remajalah yang menentukan pilihannya secara sadar dan bertanggung jawab.Tidak ada seorangpun yang berhak mendikte dan memaksakan kehendak kepada yang lain dengan dalih mendapat “petunjuk”. Allah Taala berfirman:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, melainkan Allahlah yang memberi petunjuk (taufik) kepada siapa yang dikehendakiNya. (QS Al Baqarah 2:272).

Strategi Sosialisasi Ide-ide Ahmadiyah di Kalangan Remaja

Ajaran Ahmadiyah pada prinsipnya adalah membawa pengikutnya pada keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai). Keadaan jiwa yang salam dapat tercapai bila segala kehendak diselaraskan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT atau dengan kata lain berserah diri sepenuhnya atas kehendakNya.

Untuk terwujudnya tujuan tersebut di atas, maka ajaran Ahmadiyah disebarkan oleh Gerakan Ahmadiyah. Di Indonesia dilaksanakan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dengan mengadakan:

1.   Dakwah agama Islam dengan usaha-usaha sebagai berikut:
      a.   Menerbitkan dan menyiarakan kitab-kitab Islam
      b.   Menerbitkan dan menyiarkan brosur-brosur
      c.   Mengadakan ceramah-ceramah agama Islam dan kunjung mengunjungi
      d.   Surat menyurat
      e.   Baiat
2.   Menyelenggarakan pendidikan
3.   Menyelenggarakan usaha-usaha sosial
BAB III
PENUTUP
3.1   Simpulan
Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. pada tahun 1889, atas perintah Allah Ta'ala. Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah ISLAM. Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah". Jemaat Ahmadiyah bersaksi bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah.

Ahmadiyah terpecah menjadi 2 yaitu :
a)      Ahmadiyah Qadian
b)      Ahmadiyah Lahore
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua mubaligh, Mirza Wali Ahmad Baig dalam Maulana Ahmad. Berkat rahmat Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.
GAI adalah Gerakan yang mandiri tak ada hubungan organisatoris dengan organisasi manapun di dunia ini, termasuk dengan Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) Lahore. Hubungannya hanyalah secara spiritual saja.






DAFTAR PUSTAKA
Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 17, tahun 2008.

www.ahmadiyah.org, 02,mei tahun 2011.



Perbedaan Spesifik Antara Mazhab Zahiriyah dan Ibadiah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab) bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.

Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah, al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Sementara puluhan mazhab lainnyamungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah mazhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak di antaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya mazhab tersebut di zamannya.

Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdaddengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.

saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud al-Zhahiri ini.

Dan Ibadhiyah yaitu salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.

1.2 Masalah
          Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
  1. Apa itu mazhab zahiriyah?
  2. Apa itu mazhab ibadiyah?
  3. Apa perbedaan spesifik antara mazhab zahiriyah dan mazhab ibadiyah?

1.3 Tujuan
          Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:
  1. Mengetahui tentang mazhab zahiriyah.
  2. Mengetahui tentang mazhab ibadiyah.
  3. Mengetahui tentang perbedaan antara mazhab zahiriyah dan mazhab ibadiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  MAZHAB ZAHIRIYAH

2.1.1   Sejarah Berdirinya Mazhab Zahiriyah

Mazhab ini didirikan dengan prinsip bahwa sumberhukum fiqih adalah zhahirnya nash, baik dari alqur’an dan sunnah, tidak ada ruang bagi logika dalam menentukan sebuah hokum syar’i. Oleh karena itu, para pengikut mazhab ini menolak semua jenis logika, tidak menggunakan qiyas, istihsan, dzara’i, kemaslahatan, maupun logika apapun bentuknya.

Mazhab ini menolak qiyas karena ia akan membuka lebar pintu ijtihad dan semua orang dapat melakukan itu dalam menggali hokum.

2.1.2        Daud al-Zhahiri

a.   Sejarah Hidup dan Karya Ilmiah Daud al-zahiriyah
Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia. Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.[1]
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain:
1.   Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2.   Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3.   Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal khusus dan umum).
4.   Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya).
5.   Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).
6.   Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaklid).
7.   Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[2]
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.[3] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
b. Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri.
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis.[4]
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.[5]
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.[6]
1)   Tentang Ijma’.
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, tetapi mencakup tabi’in.


2)   Tentang Qiyas.
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak peng­gunaan qiyas dan ra’yu. Ia berpendapat bahwa hu­kum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hu­kum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbela­kangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang te­guh pada al-Qur’an dan sunah serta menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek per­adilan menuntut adanya perangkat-pembantu lain­nya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya.
3)   Tentang Taqlid.
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus ber­tanya kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :[8]
a)   Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut k­empat jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
b)   Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disuci­kan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpeli­hara [Lauh Mahfuz]). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisan­tulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disen­tuh oleh orang yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.
2.1.3   Dasar-dasar Mazhab Zahiriyah

dasar yang menjadi landasan dalam mazhab zahiriyah ada 4 yaitu sebagai berikut:
a)      Al-qur’an, merupakan dasar syariat pertama yang kekal sampai hari kiamat dan alqur’an bisa menjelaskan sendiri hokum yang ada didalamnya sperti nikah, talak dan warisan atau harus dijelaskan oleh sunnah seperti menguraikan hal-hal yang masih global dalam al-qur’an.

b)      Sunnah, kalangan mazhab zahiriyah membagi sunnah menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Keduanya menurut zahiriyah wajib diamalkan dan diyakini. Perbedaan antara hadits ahad dengan yang mutawatir hanya terletak pada kekuatan dalil. Hadits mutawatir didahulukan dari pada hadits ahad.

c)      Ijma, tepatnya ijma’ pada zaman sahabat saja, sebab itulah yang mungkin terjadi.

d)     Istishab, maksudnya adalah menetapkan hokum yang ada nashnya sampai ada dalil dari nash yang mengubahnya.


2.2   MAZHAB IBADHIYAH

Ibadhiyah adalah nama golongan yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim). Saat itu, Abu Musa Asy`ari sebagai duta Ali dan `Amr bin `Ash sebagaiduta Muawiyah, duduk bersama menelaah Al-Quran dan sunah Rasul saw untuk memutuskan kebenaran di pihak Ali atau Muawiyah. Ketika duta Syam menipu duta Irak dan orang-orang Irak sadar mereka telah dikecoh `Amr bin `Ash, mereka memprotes Sayidina Ali lantaran sikap beliau menerima hakamiyah. Mereka lalu membentuk kelompok tersendiri dan melawan Sayidina Ali. Mulanya, jumlah mereka hanya sedikit. Namun, jumlah mereka kian bertambah dari hari ke hari. Akhirnya, mereka berkumpul di suatu tempat bernama Harura. Mereka berperang melawan Sayidina Ali dan menelan kekalahan.

Ibadhiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.

Hingga sekarang, komunitas Ibadhiyah relatif hidup terpencil dan tidak begitu dikenal. Karena itu, mereka bisa disebut sebagai kelompok yang kurang atau relatif tidak dikenal. Yang bisa disimpulkan dari sejarah adalah bahwa Ibadhiyah muncul pada peristiwa pembangkangan Khawarij terhadap Sayidina Ali di perang Shiffin. Mereka lalu membentuk kelompok independen lantaran pengaruh pandangan-pandangan Abu Bilal Mardas bin Adyah. Mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok ekstrem Khawarij seperti Azariqah. Abu Bilal adalah poros tengah antara kelompok induk Khawarij dan kelompok-kelompok moderat. Pasca syahidnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Khawarij melakukan beberapa pemberontakan terhadap penguasa, salah satunya di bawah kepemimpinan Abu Bilal Mardas di masa Yazid bin Muawiyah. Di tahun 58 H, setelah dibebaskan dari penjara Ubaidillah bin Ziyad, Abu Bilal beserta tiga puluh pengikutnya keluar dari Bashrah dan menuju Ahvaz, atau lebih tepatnya, Asak. Pengikutnya di sana bertambah menjadi 40 orang. Ubaidillah lalu mengutus Aslam bin Zur`ah bersama dua ribu prajurit untuk menghentikan Abu Bilal dan pengikutnya. Sebelum pertempuran dimulai, Abu Bilal berkata kepada musuhnya, ”Kenapa kalian memerangi kami? Kami tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pernah menghunus pedang di hadapan orang lain.” Alhasil, perang tetap terjadi dan 40 orang Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Khalifah dan memaksa mereka melarikan diri. Di tahun berikutnya, Ubaidillah mengutus pasukan lain berjumlah 4000 orang untuk menumpas mereka. Pertempuran terjadi di hari Jumat di Darabjard Fars. Mulanya, pasukan Khalifah tidak memperoleh kemajuan. Saat waktu shalat (Jumat) tiba, Abu Bilal mengirim pesan untuk menunda pertempuran demi melaksanakan shalat. Namun, ketika pasukan Khawarij sedang melakukan shalat, pihak musuh menyerbu dan membunuh mereka semua, termasuk Mardas.

Di abad-abad terdahulu, pengikut Ibadhiyah hidup dalam wilayah yang amat luas. Beberapa kelompok dari mereka masih bertahan hingga sekarang. Mereka menetap di Oman, Tanzania (Zanjibar), dan Afrika Utara. Di masa kita sekarang, Abadhiyah adalah mazhab yang dianut mayoritas rakyat dan suku Oman. Kecenderungan masyarakat Oman kepada mazhab Ibadhiyah bermula semenjak awal terbentuknya mazhab ini. Pada permulaan gerakan dan perang Khawarij melawan dinasti Bani Umayah, sebagian pemuka kelompok Ibadhiyah dating ke Oman. Mereka menyebarkan ajaran Ibadhiyah dan memperoleh banyak pengikut. Ketika Jabir bin Zaid diasingkan oleh Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi dari Bashrah ke Oman, penduduk Oman menyambut dakwah Ibadhiyah. Sebab, Jabir berasal dari suku Azd yang merupakan suku mayoritas di Oman. Selain itu, pandangan moderat pemimpin Abadhiyah, yaitu Jabir bin Zaid, juga turut mempengaruhi sambutan rakyat Oman.

Terputusnya silsilah dinasti Bani Umayah di tahun 132 H/750 M dan kekacauan di pemerintah pusat, memberi peluang kepada pengikut Abadhiyah di Oman untuk mewujudkan mimpi membentuk pemerintahan. Mereka lalu mengangkat Jalandi bin Mas`ud bin Jaifar bin Jalandi Azdi sebagai imam bagi pengikut Ibadhiyah di Oman.

2.2.1   Biografi Pendiri Mazhab

Mazhab ibadiyah dinisbahkan kepada Abdullah bin ibadh at-tamimi yang wafat tahun 86 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau pernah belajar pada zabir bin zaid, seorang tokoh tabi’in. bahkan dalam mazhab ibadiyah, jzbirlah yang dianggap sebagai pendiri mazhab yang pertama.

2.2.2   Kelompok-kelompok Ibadhiyah

Abadhiyah juga tak lepas dari penyempalan dan perpecahan. Ada beberapa kelompok dengan beragam kecenderungan yang menyempal dari mereka. Penyempalan ini disebabkan perbedaan kultur, politik, dan sosial di antara mereka. Berikut ini beberapa kelompok cabang dari Abadhiyah:

a. Wahbiyah: Kelompok ini salah satu dari kelompok-kelompok utama Abadhiyah. Sebagian besar pengikut Abadhiyah berafiliasi kepada kelompok ini.

b.   Ibrahimiyah: Kelompok ini dinisbatkan kepada seorang penduduk Madinah bernama Ibrahim. Kemunculan kelompok ini bermula dari fatwa Ibrahim terkait dibolehkannya menjual hamba sahaya wanita Muslim kepada orang kafir (selain Abadhiyah). Ia juga melakukan hal serupa terhadap budak wanitanya. Salah satu pengikutnya yang bernama Maimun memprotes dan berpendapat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ibrahim lalu berargumen dengan ayat 275 surah Al-Baqarah bahwa Allah menghalalkan segala bentuk jual-beli. Namun, argumen ini tidak memuaskan Maimun dan ia pun memisahkan diri dari Ibrahim.

c.  Maimuniyah: Kelompok ini muncul setelah Maimun memisahkan diri dari kelompok Ibrahim.

d.  Hafshiyah: Mereka adalah pengikut Hafsh bin Abi Miqdam. Fakhrurrazi mengatakan bahwa kunyah (julukan)nya adalah Abu Ja`far. Hafshiyah berpendapat bahwa fondasi iman hanya berupa pengenalan terhadap Allah semata.

e.   Haritsiyah: Mereka adalah pengikut Harits Abadhi yang menganut pandangan Mu`tazilah dalam masalah takdir.

f.       Yazidiyah: Para pengikut Yazid bin Anis yang berpendapat bahwa Islam akan dihapus di akhir zaman dan ada nabi yang akan datang dari kaum Ajam (non-Arab).


2.2.3        Dasar Mazhab Ibadiyah

Mazhab ibadiyah berdiri tegak diatas landasan fiqih yang sama dengan mazhab islam lainnya. Oleh karena itu, dasr mazhab ibadiyah adalah sebagai berikut.

a.       Kitabullah.
b.      Sunnah, mereka mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.
c.       Ijma’
d.      Qiyas

2.2.4        Kitab-kitab Fiqh Mazhab Ibadiyah

Fiqh mazhab ibadiyah berkembang seperti halnya fiqh mazhab yang lainnya, mempunyai pakar fiqh serta hasil karya yang menyebabkan mazhab ini dikenal dan tersebar luas. Diantara hasil karya yang paling terkenal adalah kitab An-nail wa syifa’ Al-alil karya syaikh Dhiya’uddin abdul aziz at-tamimi (wafat 122 H). kitab ini dianggap sebagi sumber utama untuk fatwa dan fiqh ibadiyah.

Selain itu, sang penulis memiliki kitab lain, diantaranya Manhaj At-tajj fi At-tauhid wa Al-Fiqh dan Ma’alim Ad-Din fi Al-Falsafah wa Ushuliddin.

Kitab fiqh mazhab ibadiyah lainnya adalah kitab Thal’atu Asy-syams fi Ushuli Al-fiqh, sebuah kitab penjelasan atas an-nail yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Yusuf Athfis dan terdiri dari 10 jilid.


2.3      PERBEDAAN SPESIFIK ANTARA MAZHAB ZAHIRI DAN MAZHAB IBADIYAH

2.3.1        Mazhab zahiriyah

a.       Mazhab ini dengan prinsip bahwa sumberhukum fiqih adalah zhahirnya nash, baik dari alqur’an dan sunnah
b.      Mazhab ini menolak qiyas karena ia akan membuka lebar pintu ijtihad dan semua orang dapat melakukan itu dalam menggali hukum.
c.       Mazhab ini dilahirkan di kota Baghdad.
d.      Tidak adanya perpecahan yang menganut terhadap mazhab zahiriyah.
e.       Sunnah, kalangan mazhab zahiriyah membagi sunnah menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, kalangan mazhab zahiriyah menolak hadits mursal.


2.3.2        Mazhab Ibadiyah

a.       mazhab ini adalah yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim) dan ibadiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi.
b.      Mazhab ini menggunakan qiyas dalam dasar-dasar mazhabnya.
c.       Mazhab ini dilahirkan di kota Oman.
d.      Mazhab ibadiyah terjadi perpecahan dalam penganutnya.
e.       Sunnah, mereka mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.




















BAB III
PENUTUP
Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi dari makalah ini, yakni :
1.   Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya adalah madzhab al-Zhahiri.
2.   Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.
3.   Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.
4.   Ibadhiyah adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi
5.   Ibadiyah menggunakan qiyas dalam dasar-dasar mazhabnya
6.   Ibadiyah dalam sunnahnya mengamalkan khabar ahad dan hadits mursal.













DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van   Hoeve, 2006
Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press,         2006
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran          Tekstual dan Aliran Liberal, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri; sejarah legislasi hokum islam, Jakarta :sinar grafika offset, oktober 2009

I-note
[1] Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
[2] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), Volume 6, h. 1981
[3] Ibid.
[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56
[5] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 46
[6] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1975-1976
[7] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 2006), hlm. 969
[8] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1977


Perkembangan Islam Masa Umayyah & Abasiah

Perkembangan Islam Masa Umayyah
Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, dan tipu muslihat yang licik, bukan atas dasar demokrasi yang berdasarkan atas hasil pilihan umat Islam. Dengan demikian, berdirinya dinasti ini bukan berdasarkan hukum musyawarah.
Masa dinasti Umayyah merupakan tonggak penting dunia islam. Hal ini dikarenakan Muawiyah telah melakukan suatu kebijaksanaan yang mengejutkan semua pihak, dimana ia telah berani menunjuk putranya yazid sebagai putra mahkota. Peristiwa ini tentu saja sangat bertolak belakang pada kondisi yang ada sebelum baik pada masa rosulullah maupun khulafaur rosyidin.
Dinasti Umayyah berkuasa hampir 1 abad, selama 90 tahun mempunyai 14 khilafah yaitu :
1.      Muawiyah bin abi sufyan
2.      Yazid bin muawiyah
3.      Muawiyah II bin yazid
4.      Marwan bin al-hakam
5.      Abdul malik bin marwan
6.      Walid bin abdul malik
7.      Sulaiman bin abdul malik
8.      Umar bin abdul aziz
9.      Yazid II bin abdul malik
10.  Hisyam bin abdul malik
11.  Walid II bin yazid
12.  Yazid III bin walid
13.  Ibrahim bin walid
14.  Marwan II al-ja’diy
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.           
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik dari pada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Perkembangan Islam Masa Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H / 750 M, Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Dinamakan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah di samping bercorak Arab murni, juga terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban.
Kemajuan-Kemajuan dan Perkembangan yang Dicapai
KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA
kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqih. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh. 
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj yang menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Malik ibn Anas yang menulis Al-Muwatta nya di Madinah, Al-Awzai di wilayah Syam, Ibn Abi Urubah dan Hammad ibn Salamah di Basrah, Ma’mar di Yaman, Sufyan al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishaq  yang menulis buku sejarah (Al-Maghazi), Al-Layts ibn Sa’ad serta Abū Hanīfah.
Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir lengkap dari al-Fatihah sampai al-Nas juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadim yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyad al-Daylamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farra. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadim bahwa Abd al-Razzaq ibn Hammam al-Sanani yang hidup sezaman dengan Al-Fara juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al-Shafii dan Ahmad ibn Hanbal.
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh,  ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Malik ibn Anas, juga al-Rabi ibn Sabih dan Ibn Al-Mubarak.
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, Ubaydullah ibn Musa al-Absy al-Kufi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Musa al-Amawi dan Nuaym ibn Hammad al-Khuzai.
Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahih dari yang dlaif sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, serta Al-Nasai.
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishaq dan kemudian  diringkas oleh Ibn Hisyam. Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn Umar al-Waqidi yang menulis buku berjudul Al-Tarikh al-Kabir dan Al-Maghazi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari. Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Sa’ad  dengan Al-Tabaqat al-Kubra-nya  serta Ahmad Ibn Yahya al-Baladhuri yang menulis Futuh al-Buldan.
KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan ulum naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (ulum aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat  yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka dibanding buku-buku olah pikir.
Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan  sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-Khawarizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya.
Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansur yang juga sering disebut sebagai seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansur ketika Muhamad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab.
Pada era Harun al-Rashid dan Al-Mamun sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawarizmi, Ibn Jabir Al-Battani, Abu Rayhan al-Biruni serta Nasir al-Din al-Tusi.
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jabir ibn Hayyan (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Razi yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Razi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter.

Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.
KESIMPULAN
1.      Pada Masa dinasti Bani Umayyah, Peadaban Islam Mengalami perkembangan/kemajuan, yaitu :
Berhasil dalam memperluas daerah kekuasaan Islam ke berbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis. Islam mempengaruh kehidupan masyarakat luas.
2.      Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, peradaban Islam yang berkembang adalah :
Ilmu pengetahuan, sains dan teknologi , antara lain : filsafat, kedokteran, matematika, farmasi dan kimia, perbintangan, tafsir, hadits, kalam, dan ilmu bahasa.dll